Sunday, August 3, 2014

Dilema Perawat Indonesia Pada era BPJS

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk miskin yang sangat banyak. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 238.518.800  dengan penduduk miskin mencapai 28.280.010 jiwa. Penduduk miskin ini lah yang kemudian menjadi peserta JKN terbanyak di Indonesia.





Lahirnya  Undang-undang  No. 40 Th 2004 tentang  Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang No. 24 Th 2011 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial, mengharuskan paling lambat pada tahun 2019, setiap warga negara dijamin pelayanan kesehatannya, yang tentunya pada tahap awal penerapan JKN, sebagian besar pesertanya adalah bersumber dari Penduduk Miskin di Indonesia.

Pengelolaan Jaminan pelayanan JKN berdasarkan UU no 24 diatas, saat ini dibebankan kepada badan tersendiri yaitu Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan gabungan dari beberapa perusahaan asuransi kesehatan plat merah yang sebelumnya telah beroperasi di Indonesia yaitu PT. Askes, PT. Asabri dan PT. Jamsostek, dimana sistem pembayaran premi memiliki perbedaan antara jaminan pelayanan kelas 1, kelas 2 dan kelas 3, dimana penduduk miskin dikategorikan sebagai kelompok PBI (Penerima Bantuan Iuran)  yang preminya dibayarkan oleh pemerintah, dan kelompok masyarakat lainnya mengikuti kepesertaan secara mandiri.

Besarnya iuran/premi untuk tiap-tiap kelas adalah : kelas 1 sebesar Rp. 59.500,- per bulan, kelas 2 sebesar Rp. 49.500 perbulan dan kelas 3 sebesar Rp. 25.500 per bulan.

Sistem pembayaran dari BPJS kepada fasilitas pelayanan kesehatan dibagi menjadi 2 jenis yaitu pembayaran melalui kapitasi per jumlah peserta JKN (diperuntukkan bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama -- FKTP) dan sistem klaim, pada pelayanan kesehatan tingkat lanjutan.

Tata cara penggunaan dan pengelolaan kapitasi berdasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 69 tahun 2011, pembayaran atas pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dilakukan melalui mekanisme kapitasi untuk rawat jalan tingkat pertama dan non kapitasi / klaim untuk pelayanan rawat inap tingkat pertama, pelayanan kebidanan dan neonatal. 

Mengacu kepada hal tersebut diatas, penetapan jasa pelayanan dan jasa sarana untuk pelayanan rawat jalan tingkat pertama melalui kapitasi telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden RI nomor 32 tahun 2014 dan ditindaklanjuti melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 19 tahun 2014 tentang Penggunaan dana Kapitasi, dimana besarnya Jasa pelayanan adalah sebesar minimal 60% dan Jasa penunjang pelayanan sebesar 40%.  Namun besaran Jasa Pelayanan dan Jasa sarana untuk pelayanan rawat inap tingkat pertama, pelayanan kebidanan dan neonatal yang dibayarkan melalui sistem non kapitasi / klaim belum di atur.

 Pembagian jasa pelayanan kesehatan yaitu sebesar 60% dihitung dengan menggunakan 3 komponen untuk tiap ketenagaan yaitu komponen Jenis tenaga, komponen jabatan dan komponen kehadiran, dimana komponen jenis tenaga berbeda-beda antara tiap kelompok jabatan sebagai berikut : 
1. Variabel jenis ketenagaan dan/atau jabatan  sebagai berikut:
    a. tenaga medis, diberi nilai 150;
    b. tenaga apoteker atau tenaga profesi keperawatan (Ners), diberi nilai 100;
    c. tenaga kesehatan setara S1/D4, diberi nilai 60;
    d. tenaga non kesehatan minimal setara D3, tenaga kesehatan setara D3, atau tenaga kesehatan dibawah 

         D3 dengan masa kerja lebih dari 10 tahun, diberi nilai 40;
    e. tenaga kesehatan di bawah D3, diberi nilai 25; dan
    f.  tenaga non kesehatan di bawah D3, diberi nilai 15.
2.  Tenaga  yang merangkap tugas administratif sebagai Kepala FKTP, Kepala Tata Usaha, atau Bendahara 

      Dana Kapitasi JKN diberi tambahan nilai 30.
3. Variabel kehadiran dinilai sebagai berikut: 
    a. hadir setiap hari kerja, diberi nilai 1 poin per hari; dan
    b. terlambat hadir atau pulang sebelum waktunya yang diakumulasi  sampai dengan 7 (tujuh) jam, 

        dikurangi 1 poin.

Dilihat dari proporsi diatas, nampak bahwa sebagaian besar jasa pelayanan diberikan kepada tenaga medis (dokter/dokter gigi) sedangkan tenaga lainnya memiliki poin yang sangat terpaut jauh dari tenaga medis, terutama perawat yang merupakan tulang punggung pelayanan di FKTP Puskesmas. 


Meskipun menurut peraturan, pelayanan kesehatan (pengobatan/kuratif) harus dilayani oleh seorang tenaga medis (dokter/dokter gigi) namun seringkali di lapangan karena keterbatasan tenaga dokter/dokter gigi dan banyaknya tenaga medis yang merangkap tugas sebagai kepala PUskesmas yang lebih sering mengikuti kegiatan rapat-rapat dan koordinasi dengan Dinas Kesehatan, seringkali perawat menggantikan tugas dokter tersebut dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Belum lagi tugas-tugas rangkap perawat lainnya di Puskesmas yang dirasa sangat berat, seperti merangkap petugas administrasi atau tugas-tugas Upaya kesehatan masyarakat (Promkes, gizi dll), maka sepantasnya perawat sebagai ujung tombak pelayanan tersebut mendapatkan perhatian lebih dari Pemerintah.